Kamis, 29 Desember 2016

Mempermasalahkan Boxing Day

Mempermasalahkan Boxing Day
Tak ada yang tahu secara pasti kapan dan bagaimana frase “Boxing Day” mulai digunakan. Yang jelas, buat penggemar sepakbola, “Boxing Day” adalah berkah.

Inggris memang beda. Saat negara lain menganggapnya semata olahraga, sepakbola di Inggris menjelma menjadi sebuah industri raksasa dengan putaran uang yang luar biasa besar. Namun, sepakbola bukan cuma baik pada televisi. Sepakbola juga merupakan hadiah Natal yang hakiki.

Boxing Day” menjadi salah satu bagian menarik di kompetisi sepakbola profesional Inggris. Terdapat tiga pertandingan yang biasanya hanya berjarak satu minggu. Malah, ada pertandingan yang punya jeda waktu cuma 48 jam. Ini membuat “Boxing Day” menjadi menarik karena ada pertarungan antara ego untuk menang dan keterbatasan fisik. 

Pengaruh “Boxing Day” menyebar ke mana-mana, mulai dari peningkatan nilai transfer musim dingin, sampai ke penampilan para pemain di timnas. “Boxing Day” pun tidak bisa dijadikan patokan untuk memprediksi siapa juara Premier League pada musim itu.

Cedera dan Meningkatnya Aktivitas Transfer

“Tidak ada winter break dan aku pikir itu adalah budaya paling kejam di sini. Ini tak bagus untuk sepakbola Inggris,” kata Louis van Gaal kepada The Guardian pada Oktober 2015 silam.

Ucapan Van Gaal sendiri berkaca pada liga-liga Eropa lain yang meliburkan kompetisinya selama Natal dan Tahun Baru. Malah, Bundesliga seringkali baru mulai kembali berkompetisi menjelang akhir Januari. Dari 53 kompetisi di Eropa, hanya liga-liga di United Kingdom dan Liga Israel yang benar-benar tidak libur saat Natal dan Tahun Baru. Maka, jangan tanyakan mengapa pertandingan Supercoppa Italia digelar akhir tahun.

“Latihan terus menerus bisa melemahkan atlet terkuat sekalipun,” tulis dr. Elizabeth Quinn dalam Why Athletes Need Rest and Recovery After Exercise. “Istirahat sangat penting dalam kinerja di olahraga untuk berbagai alasan. Beberapa secara fisiologis dan lainnya secara psikologis.”

Menurut dr. Elizabeth, istirahat secara fisik menjadi penting sehingga otot bisa diperbaiki, dibangun ulang, dan dikuatkan. Istirahat akan membiarkan tubuh untuk mengisi kembali energi dan memperbaiki jaringan yang rusak.

Premier League adalah liga yang paling sulit dimenangi karena tingginya persaingan antarkesebelasan. Anda tak bisa menang dengan mudah. Ini adalah pertandingan yang amat kompetitif dan Anda juga mesti bermain di Liga Champions. Ini tak mudah dan inilah alasan mengapa kesebelasan Inggris selama beberapa tahun terakhir tak memenangi Liga Champions karena perbedaan ini,” jelas Van Gaal. 

“Ini (Boxing Day) tak bagus buat klub atau tim nasional. Sudah berapa tahun Inggris tak memenangi gelar? Ini karena para pemainnya kelelahan di akhir musim.”

Argumen “kelelahan di akhir musim” sejatinya sudah bisa terlihat di pertengahan musim. Dalam 10 tahun terakhir, Liga Primer Inggris menjadi kesebelasan dengan pengeluaran terbesar saat transfer musim dingin. Tentu, transfer musim dingin bukan lagi saatnya membentuk tim, melainkan menambal pemain yang dianggap kurang berkontribusi atau karena cedera.

Dr. David Lawrence dari RS St. Michael di Toronto dalam penelitiannya menjabarkan bahwa para pemain NFL (American Football) rentan terkena cedera ankle 1,5 kali di suhu 10 derajat celsius atau lebih dingin ketimbang biasanya. Dr. David menuturkan bahwa perlengkapan yang lebih dingin pun memengaruhi dampak dari tabrakan antar pemain. Para pemain lebih sering mengeluhkan soal rasa sakit di saat cuaca dingin.

Pada Boxing Day 2013 silam, dalam pertandingan Chelsea melawan Liverpool, setidaknya terdapat lima kejadian cedera otot dan tendon. Cederanya para pemain, meskipun mungkin tidak untuk waktu yang lama, akan memengaruhi keputusan klub dalam membeli pemain baru di bursa transfer musim dingin. 

Setidaknya ini terbukti pada musim tersebut: Chelsea mendatangkan Nemanja Matic, Mohamed Salah, dan Kurt Zouma di bursa transfer musim dingin dengan total pengeluaran sebesar44,5 juta paun!

Sulit Diprediksi

Calon juara Premier League biasanya baru mulai menguat setelah pergantian tahun. Di sisi lain, hampir sulit untuk menerka siapa calon juara jika hanya menyaksikan pertandingan Boxing Day. Ini bisa terlihat dari betapa acaknya hasil para juara Premier League saat Boxing Day.

Tim juara Premier League pada musim tersebut tak semuanya memborong kemenangan pada Boxing Day. Mereka yang menang di dua pertandingan Boxing Day hanya terjadi sebanyak 10 musim. Sisanya, ada 10 musim di mana tim juara hanya meraih satu kemenangan dan satu hasil seri. Ada tiga musim pula di mana sang juara Premier League hanya meraih satu kemenangan selama Boxing Day.

Namun, ada dua musim di mana juara Premier League tidak meraih hasil maksimal pada dua pertandingan Boxing Day yakni pada musim 2011/2012 dan 2015/2016. 

Pada 2011/2012, Manchester City yang berakhir sebagai kampiun di akhir musim, hanya meraih satu poin yang berasal dari hasil seri saat melawat ke The Hawthorns, kandang West Bromwich Albion, serta kalah 0-1 saat bertandang ke Stadium of Light, kandang Sunderland. 

Pada 2015/2016, Leicester City dikalahkan Liverpool saat bertandang ke Anfield. Liverpool bersama Arsenal menjadi dua kesebelasan di Premier League yang mampu mengalahkan Leicester kala itu. Selang 72 jam kemudian, Leicester menjamu tim kuat Manchester City yang dipaksa bermain imbang tanpa gol.

Dua hasil ini merupakan yang terburuk yang pernah diraih oleh juara Premier League di Boxing Day. Pasalnya, cuma City dan Leicester, di musim itu, yang gagal menang dan hanya merain satu poin di Boxing Day.

Juara Premier League pun tak bisa dilihat apakah dia bermain kandang-tandang, tandang-kandang, atau secara berturut-turut main di kandang atau tandang.

Ada lima musim di mana kesebelasan yang bermain kandang beruntun menjadi juara. Pun sebaliknya, di mana ada kesebelasan yang bermain tandang dua kali beruntun dan menjadi juara.

Dari hasil yang dicapai di Boxing Day, tidak semua kesebelasan peringkatnya naik. Ada lima musim di mana hasil dari Boxing Day mengangkat peringkat kesebelasan. Namun, tak semuanya naik ke peringkat pertama. Salah satu contohnya pada Manchester United di musim 1996/1997, di mana kemenangan hanya mengangkat mereka dari peringkat ketiga ke peringkat kedua. Hal yang paling mencengangkan justru terjadi pada Arsenal semusim setelahnya di mana mereka naik satu peringkat dari peringkat keenam, tapi bisa menjadi juara!

Apa yang dicapai Arsenal ini merupakan peringkat terendah di Boxing Day bagi suatu kesebelasan untuk bisa menjadi juara. Peringkat terendah lainnya terjadi pada Manchester United yang saat Boxing Day menempati peringkat keempat.

Meski ada kesebelasan yang secara peringkat naik, tapi ada dua kesebelasan yang malah mengalami penurunan karena hasil buruk di Boxing Day. Mereka adalah Manchester United pada musim 2007/2008 di mana kemenangan 4-0 The Red Devils atas Sunderland memang menempatkan mereka di peringkat pertama. Namun, itu tidak bertahan lama karena posisi mereka tergeser gara-gara kalah 1-2 saat tandang ke Boleyn Ground, kandang West Ham.

Hal serupa juga terjadi pada Leicester City musim lalu. Hanya mengumpulkan satu poin, membuat posisi mereka tergeser ke peringkat kedua oleh Tottenham Hotspur. Namun dua pekan kemudian, The Foxes bertengger di peringkat pertama hingga akhir musim.
Mempermasalahkan Boxing Day 

Mengubah Tradisi

Sejak tahun lalu, selalu beredar petisi yang meminta toko-toko tetap tutup selama periode Boxing Day. Pada November bulan ini, setidaknya sebanyak 200 ribu orang menandatangani petisi online diChange.org. Inisiator petisi tersebut, Ian Lapworth, berargumen bahwa libur Natal mestinya dihormati oleh para pemilik toko sehingga karyawan mereka memiliki waktu berkumpul bersama keluarga untuk bersantai dan menikmati perayaan seperti halnya orang lain.

Berdasarkan laporan The Sun, sepakbola telah mengikuti Boxing Day secara reguler sejak 1888/1889. Ada perlakuan khusus dari operator kompetisi saat membuat jadwal selama Boxing Day. Tim yang tandang diusahakan tidak berjarak terlalu jauh, sementara pertandingan derby tidak akan melibatkan pertandingan besar.

Ini tak lain karena adanya perbedaan kultur di Inggris saat memasui Boxing Day. Masyarakat biasanya lebih memilih berkumpul bersama keluarga ketimbang memenuhi stadion, sehingga pertandingan berskala besar akan dihindari untuk dijadwalkan. Selain itu, diusahakan bagi sebuah kesebelasan untuk melakukan pertandingan kandang, kalau tidak setelah Natal, berarti setelah Tahun Baru.

Namun hal-hal di atas sifatnya masih teoritis alias tak semuanya diperlakukan serupa. Musim ini, West Ham yang berbasis di London, harus bertandang ke Wales, ke Swansea City, yang berjarak 371 kilometer. Sunderland pun mesti menempuh jarak 233 untuk mencapai Old Trafford, dari timur ke barat. 

Menggelar pertandingan kandang saat Natal atau Tahun Baru pun masih teori. Blackburn 1994/1995, Manchester United 2000/2001 dan 2007/2008, Chelsea 2005/2006, serta Manchester City 2011/2012, adalah tim juara yang tak pernah menggelar pertandingan kandang selama Natal ataupun Tahun Baru!

Boxing Day mungkin akan terus berlangsung entah sampai kapan. Mereka yang terlibat di Boxing Day pantas diberi ucapan terima kasih; mulai dari pramuniaga toko, dokter, polisi, pemadam kebaran, hingga pesepakbola yang tak libur.

Petisi agar para pekerja libur saat Boxing Day telah digemakan. Hal senada mungkin juga penting untuk disuarakan di sepakbola.

Liga Inggris punya jadwal yang super ketat. Ada tiga kompetisi lokal yang memenuhi jadwal pertandingan. Belum lagi kompetisi Eropa yang berlangsung di tengah pekan, bergantian dengan jadwal kompetisi lokal. Para pesepakbola Inggris tenaganya kemungkinan benar-benar habis di akhir kompetisi. 

Sialnya, turnamen besar seperti Piala Eropa atau Piala Dunia digelar di akhir kompetisi. Hal ini yang membuat Van Gaal mengkritisi (atau mengejek) bahwa alasan Inggris sulit juara di turnamen tersebut karena para pemain yang kelelahan. Alasan ini menjadi masuk akal karena hampir jarang pemain timnas Inggris yang bermain di luar Inggris. Sehingga mereka semua pasti terdampak oleh Boxing Day.

Buat tim pelatih, Boxing Day adalah perjudian. Salah satu yang sedang pusing tentu manajer Manchester United, Jose Mourinho. Musim ini, mereka bermain di Europa League yang bertanding setiap Kamis malam. Mereka punya waktu kurang dari 72 jam, untuk memulihkan kondisi tubuh sebelum bertanding di liga.

Mourinho sering mengganti pemain utama saat timnya sudah unggul di Europa League. Salah satu contohnya adalah Zlatan Ibrahimovic yang selalu tampil penuh di Premier League. Zlatan digantikan atau dicadangkan agar kondisinya lebih bugar dalam menghadapi liga.

Di Boxing Day, jadwalnya lebih kejam lagi karena mereka cuma punya waktu kurang dari 48 jam untuk recovery. Tim pelatih pun mesti berjudi untuk menurunkan pemain yang tepat di pertandingan yang tepat. Kalau mereka habis-habisan saat Natal, kemungkinan mereka akan habis saat Tahun Baru.

Buat manajemen, Boxing Day bisa jadi menyebalkan karena cederanya para pemain. Di musim dingin, para pemain menjadi lebih rentan cedera, apalagi dipaksakan bertanding di jadwal yang begitu ketat. Pemain yang cedera membuat manajemen mesti menghadirkan pemain anyar guna melapis pemain tersebut saat bursa transfer musim dingin. Lagi-lagi pengeluaran. Belum lagi saat ini setiap kesebelasan tak boleh melanggar aturan Financial Fair Play yang membatasi mereka dalam menghamburkan uang.

Alasan-alasan itu membuat Boxing Day di sepakbola agaknya mesti dipertimbangkan ulang. Satu pertandingan antara Natal dan Tahun Baru agaknya lebih logis untuk dipertimbangkan.

Kisah di Balik Hijrahnya Lorenzo ke Ducati

Kisah di Balik Hijrahnya Lorenzo ke Ducati
Keributan Jorge Lorenzo dan Valentino Rossi memang memuncak musim 2015. Meski sama-sama satu tim, keduanya saling bersaing memperebutkan gelar juara dunia. Lorenzo lah yang memenangkan kompetisi itu. 

Semua menyangka perseteruan itu akan mereda pada musim 2016, tapi ternyata tidak. Pada balapan di ajang MotoGP 2016 sirkuit San Marino di Misano, lagi-lagi Rossi terlibat cekcok dengan Lorenzo. 

Kali ini Lorenzo menganggap bahwa aksi Rossi yang melakukan overtaking di lap kedua tikungan 14 terlalu agresif. Rossi yang tak terima kemudian membalas ocehan Lorenzo sembari tertawa: “Jika Anda seseorang yang telah berusia 37 tahun, Anda harus membiarkan pembalap yang lain ikutan berbicara,” kata pembalap berjuluk X-Fuera tersebut.

Sebelumnya, Rossi sudah pernah berseteru dengan Lorenzo di tahun 2010. Tahun itu, Lorenzo berhasil meraih gelar juara MotoGP pertamanya. Rossi yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran Lorenzo, memutuskan hengkang ke Ducati.

“Sepanjang karier saya, saya tidak pernah membuat keputusan yang keliru. Sekarang saya salah,” ujarnya ketika di Ducati. Ia mengaku bahwa keputusannya hanya semata-mata masalah ketidaknyamanan dengan Lorenzo.

Kali ini giliran Lorenzo yang mengatakan bahwa perseteruannya dengan Rossi sudah tak terhindarkan. Ketika Rossi pindah ke Ducati tahun 2011, perseteruan tersebut perlahan luntur. Ketika itu, Yamaha lebih memilih Lorenzo sebagai "anak emas" dibanding Rossi.

“Apabila ada dua 'ayam jago' dalam satu 'kandang', dengan catatan bahwa salah satu target mereka adalah melakukan segalanya untuk mengalahkan pembalap dengan motor yang sama, maka ketegangan jelas terjadi. Ini wajar-wajar saja, entah dengan Vale atau dengan yang lain,” ucap Lorenzo.

Sedangkan Alex Hofmann, komentator MotoGP berpendapat bahwa Yamaha tidak memberikan cukup apresiasi pada Lorenzo. Kali ini, Yamaha ternyata lebih memilih mempertahankan Rossi dan mendepak Lorenzo.

"Jorge Lorenzo mencari tim yang mau melakukan apa pun buat dirinya dan itu yang dijanjikan Dall'Igna. Di Ducati, dia menjadi pebalap nomor satu dan mendapat gaji yang besar," kata Hofmann. 

Setelah sekian lamanya, Lorenzo akan bersua kembali dengan motor pabrikan Italia. Terakhir pada tahun 2007, Lorenzo mencicipi Aprilia di kelas 250cc. Ia berhasil menjadi juara dunia dua kali kelas 250cc.

Motor Ducati, Motor Yamaha

Bukan rahasia lagi bahwa Ducati memang sering membajak pembalap Yamaha. Ada nama, Cal Crutchlow dan Andrea Dovizioso. Kedua pembalap ini sempat dibajak Ducati dari tim satelit Yamaha yakni Monster Yamaha Tech 3. Yang paling lawas, Ducati pernah meneken kontrak dengan pembalap Carlos Checa dari tim satelit Gauloises Fortuna Yamaha. 

Juara dunia Grand Prix sembilan kali, Valentino Rossi juga sempat menjajal kemampuan motor Desmosedici GP12 milik Ducati Corse pada tahun 2011 – 2012.

Rossi sebagai pembalap teranyar dan paling senior merasakan sendiri kekejaman motor Desmosedici. Selama dua musim di Ducati, Rossi sibuk beradaptasi dengan mesin Desmosedici dan tak pernah berhasil. Dua tahun waktunya dihabiskan dengan mengeluh.

Jangankan juara dunia, untuk menjadi peringkat 1 di satu sirkuit saja sangat sulit. Tercatat hanya Dovizioso saja yang pernah duduk di podium nomor 1 sebagai mantan penunggang Yamaha di Ducati. Sisanya nihil. 

Ducati justru meraih gelar juara dunia MotoGP saat ditangani oleh Casey Stoner yang sebelumnya menunggangi motor pabrikan Honda.

Namun, Direktur Olahraga Ducati Corse, Paolo Ciabatti tetap mempercayakan motor Ducati kepada Lorenzo. Kembali rider Yamaha harus mencoba mengadu nasib dengan menaklukan tenaga luar biasa Desmosedici. 

“Rencana kami adalah menjadikan motor kami menjadi lebih kompetitif, seperti Honda dan Yamaha. Kami ingin merekrut pembalap terbaik dan membawa gelar juara ke Borgo Panigale, Italia,” ujar Ciabatti.

Desmosedici GP17 sendiri tidak banyak mengalami perubahan. Terkait regulasi baru yang diterapkan Dorna Motosport, GP17 diwajibkan mengurangi sasis di bagian sayap atau winglet. Namun, rider Ducati, Dovizioso mengatakan bahwa Desmosedici tidak akan mengalami perubahan, tapi penyempurnaan.

“Ducati takkan membuat motor yang benar-benar baru seperti yang mereka lakukan tahun-tahun sebelumnya. Mengapa? karena tahun ini saja kami sudah cukup mampu tampil kompetitif. Hanya ada beberapa komponen baru, termasuk penyesuaian dengan spesifikasi regulasi MotoGP 2017," ungkap Dovi.

Karena itu, untuk sasis motor, Ducati diyakini masih akan tetap kerja sama dengan produsen sasis asal Swiss, Suter Racing Technology. Sedangkan untuk sistem kelistrikan, Ducati akan digarap oleh merk mobil ternama, Audi.

Hal yang dikatakan Dovi memang masuk akal. Pada musim 2016, prestasi Ducati relatif bagus. Di sirkuit Mugello misalnya, Andrea Iannone berhasil mencatat salah satu rekor waktu tercepat. Motor Desmosedici GP16 mencetak kecepatan 354,9 kilometer per jam. Sedangkan di sirkuit Qatar, Desmosedici GP16 berhasil mencapai 351,2 kilometer per jam.

Pada tes pramusim 2016, Ducati juga berhasil membuat gentar lawan-lawannya. Bagaimana tidak, Dovizioso dan Iannone berhasil finish tercepat di posisi satu dan dua serta mempecundangi Marc Marquez ataupun Jorge Lorenzo.

“Musim lalu mereka sangat cepat, mereka memiliki high speed yang sangat tinggi. Tapi, mereka kala itu tidak bagus pada akselerasi. Namun kini, Ducati memiliki akselerasi yang bagus ketimbang musim lalu,” kata Marquez terkait pramusim yang lalu.

Mesin Ducati memang dikenal mumpuni dalam soal mengejar top speed. Sayangnya kedahsyatan mesin mereka tidak semerta membikin Ducati juara.  Banyak pembalap mengeluhkan terlalu sulit mengendalikan motor Ducati, di antara yang mengeluhkan itu adalah Rossi. 

"Masalah kami sangat jelas: apa yang tidak bekerja di bagian belakang, pada percepatan, menurut saya datang dari depan, dan penyebabnya understeering. Saat masuk tikungan, karena sesuatu yang kami tidak tahu, bagian depan tidak memungkinkan Anda untuk belok dengan kencang. Understeering menjadi masalah terbesar,” kata Rossi pada 2012 silam 

“Yang luar biasa adalah bahwa karakteristik ini mirip dengan semua Ducati yang saya naik sejak 2010: apakah itu versi tanpa sasis, atau yang menggunakan serat karbon bagian depan, atau dengan aluminium, atau dengan yang full sasis. Semuanya tidak pernah berubah, itu luar biasa. Mesin juga menjadi masalah lain yang sangat penting. Kami membutuhkan mesin yang lebih mudah dikelola: mesin kami sangat agresif, lebih dari milik Honda dan lebih lagi daripada Yamaha,” ujar Rossi.
Kisah di Balik Hijrahnya Lorenzo ke Ducati 

Nasib Rider Spanyol di Pabrikan Italia

Sebelum Lorenzo, beberapa pembalap Spanyol sudah pernah mencoba menjinakkan Desmosedici.

Carlos Checa yang juga menunggangi Yamaha YZR-M1 hengkang pada 2005 ke Ducati. Bersama Ducati, Checa hanya bertahan selama semusim dan kembali ke motor Yamaha.  Nasib sama menimpa Sete Gibernau. Bersama Ducati, Gibernau hanya berhasil meraih peringkat 13 pembalap dunia. Bahkan, Gibernau tidak bisa berdiri di podium satu kalipun bersama Ducati. Ia mandek di peringkat empat. 

Hasil ini tentu ironis karena Gibernau bukankah pembalap kemarin sore. Saat Rossi menjadi juara dunia tahun 2003 dan 2004, Gibernau ketat menempel Rossi di posisi 2. Ketika pindah ke Ducati tahun 2006, nasib Gibernau turun ke peringkat 13.

Pada balapan terakhir di sirkuit Valencia 2006, Gibernau yang mengendarai Desmosedici GP6 bahkan mengalami tabrakan dan cedera parah. Setelah tabrakan itu, Gibernau memutuskan untuk keluar dari dunia MotoGP. 

Belum kapok, Gibernau kembali pada tahun 2009 dengan Ducati GP9. Kembali, Ducati memberikan hasil buruk pada Gibernau. Ia finish di peringkat 19 klasemen dan pensiun selamanya.

Trend buruk pembalap Spanyol di Ducati ini apakah juga akan menimpa Lorenzo? Pada awal uji cobanya dengan Ducati awal bulan lalu, Ciabatti mengatakan Lorenzo terlihat sangat puas dengan Desmosedici. 

"Dia tersenyum lebar saat kembali ke garasi setelah melakukan beberapa putaran pertama. Dia lega dan menyadari bahwa meskipun berbeda motor (dengan Yamaha), Ducati bukanlah sesuatu dari dunia lain," kata Ciabatti.

Sebenarnya ini bukan merupakan kali pertama Ducati mendapati pujian seperti itu. Pada awal musim, Checa, Gibernau, dan Rossi mengatakan yang sama: Desmosedici luar biasa. 

Namun, hasilnya? Selalu tidak biasa.

“Sejak awal perjalanan bersama Ducati sudah terasa sulit. Dan sayangnya kita tidak bisa memperbaiki hal itu. Saya tidak pernah bisa berkompetisi dengan motor ini (Desmosedici GP12). Saya rasa Ducati akan berkembang tahun-tahun ke depan. Tapi saya sudah membuat keputusan. Dalam kondisi sekarang, saya harus mencoba motor yang lebih kompetitif dan motor terbaik untuk saya,” kata Rossi ketika meninggalkan Ducati.

Bahkan Rossi yang sudah menjuarai MotoGP sebanyak lima kali akhirnya bertekuk lutut pada ‘kuda besi’ racikan negaranya sendiri. 

Bagaimana nasib Lorenzo? Sepertinya ia tidak bisa lengah sejak awal seri MotoGP 2017. Karena itu yang akan menentukan nasibnya di Ducati atau bahkan di MotoGP. 

Kutukan Sial Arsenal di Perdelapan Final

Kutukan Sial Arsenal di Perdelapan Final
Babak 16 besar atau perdelapanfinal Liga Champions 2016/2017 kembali menyertakan Arsenal. Namun, di fase ini pula skuad asuhan Arsene Wenger harus memungkasi langkah dalam 6 edisi sebelumnya secara berturut-turut karena selalu gagal melewati lawan yang dijumpainya. Kini, The Gunners harus menghadapi kutukan serupa.

Celakanya, rival yang telah menunggu Arsenal di babak 16 besar Liga Champions musim ini bukan tim sembarangan, yakni Bayern Munchen. Celakanya, jagoan Jerman inilah yang pernah menghentikan laju pasukan Meriam London di tiga perdelapanfinal Liga Champions terdahulu: musim 2004/2005, 2012/2013, dan 2013/2014.

Tampil di Final Paling Maksimal

Sepanjang sejarahnya, Arsenal belum pernah merasakan nikmatnya meraih juara Liga Champions. Itu tentunya menjadi mimpi terbesar bagi sang manajer, Arsene Wenger, kendati The Gunners memang sedang seret gelar bergengsi setelah menjadi kampiun Premier League musim 2003/2004.

Terakhir kali publik Emirates bersorak merayakan juara adalah ketika meraih trofi Piala FA 2014/2015 dan Community Shield 2015. Namun, tentu saja supremasi dua ajang itu belum bisa dibandingkan dengan pamor Premier League, apalagi Liga Champions.

Di lemari prestasi Arsenal memang tersimpan 13 gelar juara Liga Utama Inggris, 12 Piala FA, 14 trofi Community Shield, 2 juara Piala Liga, dan beberapa trofi lainnya dari ajang yang lebih kecil. Namun, untuk level Eropa, The Gunners hanya punya sebiji Piala Winner’s dan Piala Inter-Cities Fairs. Dua turnamen itu pun kini sudah almarhum.

Untuk Liga Champions, klub yang berdiri pada 1886 ini sebenarnya selalu menjadi langganan tetap. Sejak milenium baru abad ke-21, Arsenal tidak pernah absen berkiprah di ajang antar-klub paling bergengsi di Eropa bahkan sejagat itu.

Langkah paling maksimal yang ditorehkan Arsenal di Liga Champions adalah di final, yakni pada musim 2006/2007. Kala itu, The Gunners harus mengakui keunggulan Barcelona dengan skor akhir 1-2 dalam partai puncak yang digelar di Stade de France, Paris.

Rutin Terkapar di 16 Besar

Perdelapanfinal menjadi mimpi buruk Arsenal di Liga Champions dalam beberapa tahun terakhir. Bayangkan, sejak 2010/2011 hingga musim lalu atau dalam 6 edisi berturut-turut, secara beruntun The Gunners selalu terkapar di fase 16 besar, dan 2 di antaranya dalam kurun waktu tersebut disingkirkan Bayern Munchen, calon lawan Arsenal yang akan dihadapi pada 15 Februari dan 7 Maret 2017 mendatang.

Musim 2010/2011, Arsenal terpental dari perdelapanfinal dengan skor agregat 3-4 dari Barcelona, klub yang di musim sebelumnya juga menjadi momok bagi Theo Walcott dan kawan-kawan di perempatfinal 2009/2010. Raksasa Spanyol itu pula yang menghentikan laju Arsenal di babak 16 besar Liga Champions musim lalu.

Melawan duta Italia pun The Gunners tak berdaya. Di leg pertama 16 besar 2011/2012, Arsenal hancur total di kandang AC Milan, 4 gol nir balas menghujam gawang Wojciech Szczesny tanpa ampun. Trigol Laurent Koscielny, Tomas Rosicky, dan penalti Robin van Persie di Emirates tak mampu meloloskan Arsenal ke perempatfinal.

Di musim 2014/2015, giliran wakil Perancis yang menendang keluar pasukan Wenger dari babak 16 besar. AS Monaco bahkan berhasil mempermalukan Arsenal di Emirates dengan skor 1-3. Di leg kedua, gol Olivier Giroud dan Aaron Ramsey sempat membuat The Gunners berpeluang merayakan pesta di Stade Louis II. Tapi, gol ketiga yang ditunggu tidak kunjung hadir sehingga Arsenal lagi-lagi harus gigit jari.

Kesialan Arsenal di perdelapanfinal Liga Champions kian komplit. Setelah merasakan gebukan wakil La Liga, Bundesliga, Serie A, bahkan Ligue1, The Gunners juga pernah didepak oleh tim liga mayor Eropa lainnya, yakni PSV Eindhoven dari Eredivisie Belanda, di babak 16 besar musim 2006/2007. Lengkap sudah!

Arsenal kini lagi-lagi bertemu dengan Bayern Munchen yang sudah 3 kali menjadi penghalang ke perempatfinal. Rekor pertemuan kedua tim pun tidak berpihak kepada kompi Meriam London. Dari 10 laga di Liga Champions, The Gunners hanya mampu menang 3 kali dan imbang 2 kali, sedangkan 5 duel lainnya berakhir dengan kekalahan.

Kubu Bayern Munchen sendiri sudah hafal betul dengan karakter Wenger. Meskipun Arsenal kerap bermain atraktif dan bertipikal menyerang, namun gaya itu akan susah diterapkan kala menghadapi Die Roten seperti pertemuan yang sudah-sudah. Itulah yang diyakini oleh Bos Munchen, Karl-Heinz Rummenigge. 

"Ketika melawan kami di waktu-waktu yang lalu, mereka selalu bermain dengan sangat bertahan. Kami baru akan tenang pergi ke London jika bisa membuat satu atau dua gol terlebih dulu,” ujar Rummenigge kepada Sky Sports.
Kutukan Sial Arsenal di Perdelapan Final 

Keyakinan Melawan Kutukan

Bayern Munchen memang akan bertindak sebagai tuan rumah terlebih dulu di Allianz Arena pada babak 16 besar leg pertama Liga Champions musim ini yang akan dihelat 15 Februari 2016. Akhir pekan pertama bulan depannya, giliran tim besutan Carlo Ancelotti yang gantian dijamu Arsenal di Emirates.

Lantas, bagaimana reaksi The Gunners setelah mengetahui bahwa mereka akan kembali menghadapi monster bernama Bayern Munchen? Kendati banyak pihak yang pesimis Arsenal mampu melewati Die Roten, namun tidak demikian bagi Theo Walcott yang menyebut bahwa timnya kali ini tidak sama dengan Arsenal yang dulu.

“Saya rasa musim ini kami adalah tim yang berbeda, kami telah mengalami peningkatan akhir-akhir ini. Kami tidak boleh kalah lagi karena kini Arsenal jauh lebih tangguh. Tentunya kami akan memberikan perlawanan yang lebih bagus,” tandas Walcott.

Keyakinan winger Inggris itu cukup beralasan lantaran penampilan Arsenal di Premier League maupun Liga Champions musim ini sebenarnya cukup meyakinkan. The Gunners bahkan sempat tak terkalahkan selama 14 laga di liga sebelum akhirnya keok di 2 pertandingan terakhir kontra Everton dan Manchester City.

Di Liga Champions, pasukan Wenger bahkan lebih ngeri lagi. Berada satu grup dengan Paris Saint Germain alias PSG (Perancis), FC Basel (Swiss), dan Ludogorets (Bulgaria), Arsenal tidak pernah kalah dalam 6 laga dan lolos ke 16 besar sebagai juara Grup A.

Namun, itu tentunya bukan jaminan bahwa Arsenal bisa menghentikan ritual sial untuk lolos ke perempatfinal. Perjalanan Bayern Munchen di musim ini memang sempat sedikit tersendat. Namun, sekarang Thomas Muller dan kawan-kawan sudah kembali ke jalurnya.

Bukan mustahil tim yang sudah 5 kali juara Liga Champions ini akan memberi mimpi buruk ke-11 untuk The Gunners sepanjang pertemuan keduanya di kompetisi kasta tertinggi antar-klub Eropa itu. Di sisi lain, Arsenal pastinya ingin memutus mitos kutukan yang selalu dialami di fase 16 besar dalam 6 edisi terakhir. Mampukah?